Europol Memperingatkan Gelombang Kejahatan Robot pada tahun 2035: Ancaman yang Membayangi Penegakan Hukum

23

Sebuah laporan baru dari Europol memproyeksikan adanya perubahan dramatis dalam kejahatan pada tahun 2035, di mana kecerdasan buatan dan robotika tidak hanya akan membantu polisi, namun juga memberdayakan penjahat dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dokumen “Masa Depan Tanpa Awak” setebal 48 halaman ini bukanlah sebuah prediksi, melainkan sebuah latihan “tinjauan ke masa depan” yang menguraikan bagaimana teknologi di masa depan dapat membentuk kembali penegakan hukum.

Analisis badan tersebut menunjukkan bahwa penyebaran robot – di rumah, rumah sakit, pabrik, dan bahkan sekolah – akan menciptakan kerentanan baru. Salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah perpindahan pekerjaan secara luas yang menyebabkan kerusuhan sipil, di mana kemarahan masyarakat terhadap otomatisasi dapat meningkat menjadi “bot-bashing” dan kerusuhan anti-teknologi. Selain ketegangan sosial, laporan ini juga menimbulkan pertanyaan meresahkan tentang bagaimana masyarakat akan memperlakukan robot: apakah merusak atau menghancurkan mesin dianggap sebagai kejahatan?

Namun proyeksi yang paling mengkhawatirkan adalah robot sendirilah yang akan menjadi pelakunya. Robot perawatan bisa dibajak untuk pengawasan, pemerasan, atau bahkan perawatan korban. Kendaraan otonom dan drone dapat diretas untuk mencuri data atau dijadikan senjata dalam serangan fisik. Teroris, geng, dan bahkan penjahat biasa mungkin mengeksploitasi kawanan drone yang diambil dari zona konflik untuk melakukan serangan, memantau aktivitas polisi, dan mendapatkan keuntungan operasional.

Laporan tersebut tidak berhenti pada spekulasi. Hal ini memperkirakan adanya tantangan dalam menyelidiki kejahatan robotik, termasuk kesulitan dalam menentukan niat ketika mesin mengalami malfungsi atau berperilaku jahat. Penegakan hukum mungkin akan mengambil tindakan ekstrem seperti “senjata RoboFreezer” dan jaring yang berisi granat, namun laporan tersebut mengakui bahwa taktik ini tidak akan menyelesaikan masalah. Robot dapat menyusup ke fasilitas polisi untuk mencuri data, menyabotase operasi, atau bahkan melarikan diri dari tahanan.

Europol menekankan bahwa skenario ini tidak dibuat-buat, mengingat tren yang ada seperti penggunaan drone untuk penyelundupan (termasuk kapal selam narkotika yang dilengkapi dengan Starlink) dan meningkatnya pasar gelap bagi pilot drone yang melayani klien kriminal. Untuk mengimbangi hal ini, badan tersebut merekomendasikan peningkatan investasi dalam pelatihan, teknologi, dan peralihan ke “kepolisian 3D” (memanfaatkan drone untuk pengawasan udara).

Seperti yang dikatakan oleh direktur eksekutif Europol Catherine De Bolle: “Integrasi sistem tak berawak ke dalam kejahatan sudah ada, dan kita harus bertanya pada diri sendiri bagaimana penjahat dan teroris dapat menggunakan drone dan robot dalam beberapa tahun dari sekarang.”

Meskipun laporan Europol menyoroti potensi risiko, para ahli robotika masih skeptis terhadap skala dan jangka waktunya. Beberapa orang berpendapat bahwa adopsi yang cepat tidak dijamin, dengan alasan kekuatan pasar dan biaya sebagai faktor pembatas. Namun, bahkan mereka yang skeptis pun setuju bahwa penjahat akan mengeksploitasi teknologi baru, sehingga memerlukan investasi pada peralatan dan pelatihan polisi.

Namun, ada satu aspek yang diabaikan adalah akuntabilitas polisi. Para ahli memperingatkan bahwa kerentanan robotik yang dieksploitasi oleh penjahat juga dapat disalahgunakan oleh penegak hukum untuk melakukan pengawasan dan pelanggaran, terutama mengingat meningkatnya praktik otoriter di seluruh dunia.

Laporan Europol memberikan peringatan yang jelas: masa depan kejahatan tidak akan ada habisnya, dan masyarakat harus bersiap tidak hanya terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh penjahat yang menggunakan robot, namun juga terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang bersumpah untuk menegakkan hukum.